Fiqh Khilafiyah NU dan Muhammadiyah Tentang Bacaan Qunut

Terdapat tiga poin yang akan kita bicarakan dalam masalah Qunut, yakni Qunut Subuh, Qunut Nazilah, dan Qunut Witir. Tiga macam qunut ini adalah masalah khilafiyah yang tidak asing lagi di kalangan umat Islam, perbedaan itu juga terjadi di antara NU dan Muhammadiyah.

Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada Imam Malik dan Syafi’i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah ab’adh, sunnah yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut (berdoa “allahummah dinii.. dst) di shalat subuh. 

Untuk masalah qunut nazilah, NU menghukuminya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi), karena Nabi juga melakukannya. Sementara Muhammadiyah, memutuskan tarjihnya bahwa qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan, sebab sudah terjadi mansukh, tetapi qunut nazilah juga boleh dilakukan selama tidak menggunakan kutukan dan permpohonan pembalasan dendam terhadap perorangan.

Kemudian, dalam masalah qunut witir, NU memberikan beberapa pilihan dari pendapat ulama salaf. Sebagaimana ditulis KH Cholil Nafis, bahwa menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan diraka’at yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Hanbaliah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut pengikut Imam Syafi’i (Syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan. Namun demikian, dalam tataran keseharian warga NU lebih condong memakai pendapat Imam Syafi'i dalam masalah qunut witir. Sementara Muhammadiyah sendiri, sebagaimana ditulis Abdul Munir Mulkan (2005) merujuk pada HPT Muhammadiyah bahwa untuk qunut witir Muhammadiyah masih menangguhkan pengambilan keputusannya.
Untuk itu pada bab masalah qunut, hanya akan kami jabarkan pendapat qunut nazilah dan qunut subuh dari ulama NU dan Muhammadiyah, sedangkan untuk qunut witir hanya akan kami jabarkan pendapat dari kalangan NU saja.
Nahdhatul Ulama

a. Qunut Nazilah

Dalam sebuah tanya jawab Gus Mus tentang Qunut Nazilah yang pernah dimuat www.pesantrenvirtual.com, KH. Musthafa Bisri atau yang akrab di sapa Gus Mus menulis bahwa mengartikan qunut dengan tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian, dalam perkembangannya, qunut  digunakan untuk doa tertentu di dalam shalat.

Nazilah sendiri biasa diartikan dengan “musibah.” Nabi Muhammad SAW, demikian tulis Gus Mus, pernah berqunut pada setiap lima waktu shalat, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetaka, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi melakukan qunut muthlaq, yakni qunut yang dilakukan tanpa sebab yang khusus.
Jadi, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah SAW atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Qura’ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r al-Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut. Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah.

Qunut Nazilah adalah sunnah hai’ah hukumnya (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Hal ini sebagaimana menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah ruku' yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam. Dasar disunnahkannya qunut nazilah oleh kalangan NU antara lain hadist Nabi yang artinya:
“Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori dan Ahmad).

Sementara bacaan doa untuk qunut nazilah sama dengan qunut subuh.

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافيْتَ, وَتوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطيْتَ, وَقِنِي شَرَّ مَا ضَيْتَ, فإنَّكَ تَقْضِى وَلا ُيُقْضَى عَلَيْكَ, فإنَّهُ لا يَذِلُُمَنْ وَالَيتَ, وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ, تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, أسْتَغْفِرُكَ وَأتُوْبُ إلَيْكَ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Hanya saja, biasanya dalam qunut nazilah ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam malapetaka di Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh, atau serangan Israel ke Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan saudara-saudara kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.

Disunnahkannya qunut nazilah yang sejalan dengan pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits. Qunut nazilah tidaklah manzukh sejak turunnya al-Qur’an surat alimran ayat 128, sebagaimana hadist Abu Hurairah riwayat Bukhari-Muslim yang artinya:
Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari raka’at kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HR.Bukhari-Muslim)

Menurut kalangan yang sepakat masih disunnahkannya qunut nazilah, termasuk kalangan NU pada umumnya, berpendapat bahwa berdalilkan dengan hadits tersebut di atas menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah, karena dua hal: Pertama: ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.

Kedua: sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya:
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata: “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”. (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.

b. Qunut Witir

Pada umumnya di kalangan warga NU mempraktekkan qunut witir, khususnya untuk qunut witir setelah rukuk pada separuh kedua bulan Ramadhan. Meskipun diakui bahwa memang ada perbedaan pendapat dari madzhab yang empat. Perbedaan tersebut yaitu:
  1. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan diraka’at yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah.
  2. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’.
  3. Menurut Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan.
  4. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.
Dalam praktek peribadatan warga NU pada umumnya cenderung mengambil pendapat Imam Syafi'i. Di antara dasar yang mendukung pendapat ini antara lain dari Sahabat dan Tabi’in.
Dari ‘Amr bin Hasan, bahwasanya “Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay radiyallahu ‘anhu mengimami shalat (tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay radhiyallahu ‘anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Ma’mar berkata: “Sesungguhnya aku melaksanakan qunut Witir sepanjang tahun,kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut), demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari Qatadah dan lain-lain”. (Dalam kitab Mushannaf ‘Abdirrazzaq)

Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do’a qunut sesudah ruku’ dan ditambah dengan (do’a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendo’akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdurrahman bin ‘Abdul Qari berkata: ‘Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) mulai pertengahan Ramadhan, kemudian takbir, lalu melakukan sujud. (HR. Ibnu Khuzaiimah)

c. Qunut Subuh

H.M Cholil Nafis dalam sebuah tulisannya berkaitan dengan masalah qunut subuh, mencoba mengkompromikan dua pendapat yang bertentangan di antara Ulama Salaf. Pendapat yang pertama datang dari pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad yang menyatakan bahwa hukum qunut subuh tidak disunnahkan. Sedangkan pendapat yang kedua, datangnya dari Imam Malik dan Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa qunut subuh hukumnya sunnah hai’ah.

Sebelum lebih jauh mengetahui bagaimana Cholil Nafis mengkompromikan dua pendapat yang berbeda itu dan pada akhirnya mengambil pendapat yang menetapkan qunut subuh sebagai amalan sunnah terlebih, dahulu kita mengetahui dasar-dasar dari pendapat yang berbeda itu. Pendapat yang menetapkan bahwa qunut subuh tidak disunnahkan adalah berdasarkan hadis Nabi hadits Nabi SAW bahwa Nabi pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
“Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya.” (HR. Muslim)
Sedangkan pendapat madzhab yang menetapkan qunut subuh sunnah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) pada raka’at kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu “Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat)”. (HR. Ahmad dan Abd Raziq). Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu’nya:“Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulama’ salaf”. (al-Majmu’, juz 1 : 504)

Cara pengkompromian yang dilakukan Chalil Nafis untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu al-jam’i wa al-taufiiq) adalah, bahwa hadits Abu Mas’ud (dalil pendapat Hanafiyyah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa qunut shalat subuh dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan Syafi’iyyah) menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat subuh dan terus melakukannya sampai beliau wafat.

Chalil sampai pada kesimpulan, bahwa ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum melakukan edoa qunut pada shalat subuh adalah sunnah ab’adh, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam. Terdapat pula hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut, yakni:
Hadis Anas r.a.:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. berqunut selama sebulan mendoakan kebinasaan atas mereka, kemudian meninggalkannya. Maka adapun pada sembahyang subuh, beginda masih berqunut sehingga wafat. (HR jamaah dan dianggap sahih oleh al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruquthni dll.)

Riiwayat dari al-Awwam bin Hamzah, katanya:
“Aku bertanya Abu Usman mengenai qunut pada sembahyang subuh, dia berkata: Selepas rukuk. Aku  berkata: Dari siapa? Dia berkata: Dari Abu Bakar, Umar dan Ustman. (HR al-Baihaqi dan dianggapnya sebagai sahih)
Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Mua’qqal, katanya: “Ali berqunut pada sembahyang subuh.”
Di dalam al-Mudauwanah al-Kubra: Waqi’ berkata dari Fithr dari Atho’, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berqunut pada sembahyang subuh, dan sesungguhnya Abu Musa al-Asy’ari, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan al-Hasan berqunut pada sembahyang subuh.”
Riwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Rafi’ bahwa kedua-duanya bersembahyang subuh di belakang Umar, dia berqunut selepas rukuk.

Muhammadiyah

a. Qunut Nazilah

Dalam masalah qunut nazilah Tarjih Muhammadiyah menampung adanya pemahaman yang berbeda dan belum dapat dipertemukan, disebabkan pemahaman yang berlainan mengani hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw tidak mengerjakan qunut Nazilah setelah diturunkan surat Al-Imran ayat 128: Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Imran: 128)
Dalam doa itu Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka. Kemudian turunlah ayat di atas.
Pemahaman Tarjih yang timbul dari riwayat tersebut ialah:
1.   Bahwa qunut nazilah tidak boleh lagi diamalkan
2.   Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata kutukan dan permohonan terhadap perorangan.

b. Qunut Subuh

Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa di kalangan Muhammadiyah pada umumnya, qunut yang dibaca khusus pada raka’at kedua setelah rukuk dalam shalat subuh tidak ada. Tarjih Muhammadiyah menjelaskannya lebih lanjut sebagaimana uraian berikut:
  • Di samping perkataan qunut yang berarti ‘tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian’, Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti “berdiri (lama) dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan berdoa sekehendak hati”.
  • Dalam perkembangan sejarah fiqh, demikian Abdul Munir Mulkhan, di masa lampau orang atelah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni: “berdiri sementara” pada shalat shubuh sesudah ruku’ pada raka’at kedua dengan membaa doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya”
  • Muktamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman tersebut berdasarkan pemikiran bahwa:
  • 1) Setelah diteliti kumpulan maam-macam hadis tentang qunut, maka muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada shalat tidak khusus hanya ditamakan pada shalat subuh.
  • 2) Bacaan doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya” tersebut tidaklah sah.
  • 3) Penerapan hadis hasan tentang doa tersebut dalam phoin (2) untuk khusus dalam qunut subuh tidak dibenarkan.

Terus terang, penulis belum menemumukan dasar yang rinci dari pengistimbathan hukum qunut subuh oleh tarjih Muhammadiyah tersebut. Namun, dalam sebuah situs pdmbontang.com, situs resmi Muhamamdiyah kota Bontang, terdapat sebuah tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulkarnain, yang menyangkal disunnahkannya qunut subuh. Abu Muhammad Dzulkarnain mengatakan bahwa, dalil hadis: “Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat subuh sampai beliau meninggal dunia” yang dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, terdapat dalam kitab-kitab lain adalah “mungkar”. Menurutnya, hadits ini memang dishahihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata: “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedang rawi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah: “Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban: “Dia bercerita dari rawi-rawi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.

Lebih jauh, Abu Muhammad Dzulkarnain mengutip pendapat Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata: “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.

Hadits yang sedang kita bahas itu memiliki ini memiliki tiga jalan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, tetapi semuanya jalan tersebut dianggap lemah. Di antara mereka yang melemahkannya adalah adalah Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilal al Mutnahiyah (1/444), Ibnu at Turkimani dalam Ta’liq ‘ala al Baihaqi, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (22/374), Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (1/99), al Hafidz Ibnu Hajar dalam at Talkhis al Khabir (1/245). Dan diantara ulama mutaakhkhirin adalah al Albani dalam silsilah ad Dha’ifah (1/1238)

Selain itu, hadis tersebut bertentangan dengan logika; yaitu bagaimana mungkin Nabi saw. selalu qunut dalam shalat subuh dan membaca do’a rutin sementara tidak diketahui sama sekali do’a yang dibaca itu. Tidak dalam hadits shahih maupun dhaif. Bahkan para sahabat yang paling mengerti tentang sunnah seperti Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengingkarinya dengan mengatakan: “Kami tidak pernah melihat dan tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika dikatakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar radhiallahu’anhu bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?” demikian, sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Fatawa.

Selain itu, beberapa dalil yang biasanya dipakai untuk menyangkal pendapat yang mengatakan qunut subuh adalah sunnah adalah hadist berikut:
Dari Abu Malik al-Asyaja’i, katanya: “Aku berkata kepada ayahku: ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah bersembahyang di belakang Rasulullah s.a.w., Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, di sini di Kufah selama hampir lima tahun, adakah mereka berqunut?’ Dia menjawab: ‘Wahai anakku itu adalah bid’ah.’ (HR Ahmad, al-Tarmizi & Ibnu Majah)
Ibnu Mas’ud, berkata: “Rasulullah saw. tidak pernah berqunut di dalam sembahyangnya sekalipun.” (HR al-Thabrani, al-Baihaqi & al-Hakim)
Sesungguhnya Nabi saw. pernah berqunut sebulan lamanya, kemudian baginda meninggalkannya (tidak berqunut lagi). (HR Ahmad)
Meski Muhammadiyah berprinsip untuk tidak bermadzhab, namun dalam pendapatnya pada masalah qunut, sejalan dengan pendapat Madzhab Hanafi dan Hambali.
Sumber: cyberguru